Rabu, 17 Februari 2021

RELAWAN KEMANUSIAAN

 

 

S

 AR KARANGANYAR adalah salah satu organisasi yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan, pencarian dan pertolongan di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Organisasi ini berdiri sejak tahun 2004 dan saya mulai bergabung sejak tahun 2006 sampai sekarang.

Untuk dapat bergabung dalam organisasi ini, kita harus mengikuti beberapa pelatihan dan pendidikan. Dalam organisasi ini tak kenal kata pamrih. Kita tidak akan mendapatkan gaji ataupun honor, yang ada hanyalah panggilan jiwa untuk membantu sesama. Kita harus siap waktu, tenaga, pikiran dan bahkan dana.

Menolong tak pandang kasta, memapah tak pandang usia”, ini adalah salah satu slogan yang menjadi semangat para anggotanya. Kegiatan yang kami lakukan tak kenal waktu, jika ada informasi musibah dan kebencanaan di wilayah, maka para anggotanya harus siap sedia terjun kelapangan.

Sudah banyak kegiatan yang telah dilakukan oleh organisasi ini, mulai dari evakuasi korban kecelakaan kereta api, pencarian orang hilang di gunung, pencarian orang tenggelam di sungai, pemadaman kebakaran, evakuasi korban tanah longsor, evakuasi korban banjir dan kegiatan serupa. Saat ini, rekan-rekan SAR juga ikut berjuang ditengah pandemi, hampir setiap hari mereka berkeliling wilayah untuk melakukan sterilisasi lokasi-lokasi yang sering dikunjungi banyak orang demi turut memutus rantai pandemi.


Untuk menjadi bagian dari tim ini, kita harus memiliki mental yang kuat karena tak jarang yang kita temui dan evakuasi adalah jasad-jasad yang sudah tidak utuh lagi. Tidak ada perasaan ngeri dan takut yang terlintas ketika para anggotanya bertugas. Tugas harus terselesaiakan demi misi kemanusiaan, pantang pulang sebelum padam, begitulah istilahnya.

Ribuan cerita telah kami alami selama bergabung dan bertugas menjadi relawan kemanusiaan ini, suka duka telah dilalui, maka kami akan terus seperti ini dan beregenerasi.


*AVIGNAM JAGAD SAMAGRAM*


PAGEBLUK

  

Ramadhan, Pagebluk dan Kesendirianku

 

P

uasa hari pertama, 24 April 2020. Itu adalah hari dimana seharusnya aku bisa pulang ke kampung halamanku di Jawa. Hari itu, aku sudah membeli tiket pesawat terbang dengan tujuan Berau-Yogyakarta Kulon Progo. Harapan besar bisa bersua dengan keluarga dan menjalankan ibadah ramadhan bersama sampai hari raya.

Pandemi (dalam bahasa Jawa disebut Pagebluk) membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan penerbangan mulai tanggal 24 April 2020 pukul 00.00 WIB sampai 1 Juni 2020. Akibatnya, penerbanganku hari itu dibatalkan dan aku hanya bisa berjalan tertatih, menangis serta meratapi kegagalanku pulang kampung.

Sampai hari ketujuh Ramadhan, aku terus-menerus bersedih dan tidak keluar kost bahkan aku sahur dan berbuka seadanya dengan sisa bahan makanan yang ada didapur. Bagaimana tidak, ini adalah tahun keduaku menjalani ramadhan diperantauan, dalam kesendirian, tanpa suamiku, anak-anakku, orang tuaku dan sanak saudaraku. Rasanya begitu menyesakkan.

Hari-hari berikutnya, aku berusaha untuk bangkit secara perlahan. Mencoba menahan tangis dan kepedihan. Menyibukkan diri dengan hal yang kadang tak penting sembari terus berharap pagebluk ini segera berakhir dan aku bisa kembali pulang serta menjalani puasaku dengan penuh kegembiraan.

Namun kenyataannya, semakin hari kondisi tidak membaik. Informasi tentang pertambahan pasien covid 19 di seluruh wilayah Indonesia membuat masyarakat semakin resah. Berbagai tindakan pencegahan terus dilakukan oleh pemerintah termasuk berbagai kebijakan yang tidak boleh dilakukan selama bulan ramadhan.

Berita tentang himbauan dan larangan sholat berjamaah, larangan sholat tarawih di masjid, larangan ngabuburit, larangan melaksanakan buka bersama dan larangan-larangan lainnya memenuhi isi sosial media dan televisi.

Pagebluk telah membuat Ramadhan kami seperti gemericik air yang tak mengalir, membuat masjid tampak sepi dan tak bergema, membuat jalanan sepi bak hutan tanpa pepohonan, membuat warung-warung makan tutup dan tanpa pembeli, membuat riuh anak-anak yang menantikan takjil di masjid saat menunggu adzan maghrib tak lagi terdengar, membuat kultum dan ceramah yang biasanya menghiasi tiap malam ramadhan kini sunyi tak bergeming.

Tak ada lagi orang yang beramai-ramai melakukan iktikaf dimasjid, tak ada lagi kidmad tadarus dimasjid, tak ada lagi kataman Qur’an dimasjid, tak ada lagi peringatan Nuzulul Qur’an, tak ada lagi sorai pesantren kilat anak-anak, tak ada lagi pemuda yang hiruk pikuk keliling kampung membangunkan kami sahur dan tak ada lagi ramai orang berburu makanan dipinggiran trotoar untuk menu berbuka mereka.

Ramadhan ini hanyalah sebuah kesunyian layaknya aku yang terpaku dalam kesendirian. Mungkin pagebluk ini membuat orang menjadi lebih memahami arti kebersamaan, persaudaraan dan kerinduan. Sama halnya denganku, yang hanya bisa merindu dalam kesendirianku selama ramadhan saat pagebluk ditanah rantau.

Sekarang menangispun hanya menguras air mata. Cukup aku terjatuh dan kini saatnya untuk kembali bersyukur dan terus berdoa. Ramadhan dan kesendirianku ditengah pagebluk memang membuatku rapuh. Tapi sekali lagi, aku tak boleh kalah dan menyerah.

Hari-hariku berikutnya kuhabiskan dengan mengikuti banyak webinar dan seminar online, menambah intensitas video call bersama anak-anak, suami juga ibuku. Merekalah yang terus menguatkanku dalam kesendirian ini. Mendengarkan celoteh mereka tentang hari-hari yang mereka jalani dirumah selama ramadhan, mendengarkan mereka belajar Qur’an dan merasakan kehadiran mereka ditengah kesendirianku saat ini, kurasa itu cukup bagiku.

Ingatlah, bahwa segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Akan ada sesuatu yang indah untuk dituai nantinya. Sabarlah, kuatlah dan tersenyumlah, selalu itu yang kukatakan dalam hatiku.

Ramadhanku tidak boleh berlalu hanya dengan kesedihan, kesendirianku akan kusudahi dengan caraku dan pagebluk biarlah tetap menjadi rahasia Tuhan! Mari berdamai ditengah pagebluk demi ramadhan nan indah.


Ibuku Guruku Inspirator Kehidupanku

 

Guru, digugu lan ditiru. Ungkapan Jawa ini begitu melekat dibenak saya karena sering sekali mendengarnya sejak masa sekolah hingga saat ini kita mendewasa. Ungkapan tersebut mendorong sanubari kita  untuk terus memberikan apresiasi dan ribuan kata terima kasih yang tak terlukis bagi para Guru yang telah mendidik dan membimbing kita dengan penuh makna dan memberikan jutaan arti mulai dari awal kita masuk Taman Kanak-Kanan, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi bahkan Guru TPA kita yang mungkin hanya kita temui satu minggu satu kali

Guru-guru kita begitu banyak meninggalkan jejak bagi kehidupan kita, jejak ilmu, jejak pesan moral, jejak religius dan jutaan kenangan tak ternilai. Ilmu dan pengorbanan yang mereka berikan tak pelak membuat kita selalu terngiang akan keberadaan mereka. Bagi kita mungkin ada beberapa guru yang menimbulkan kesan kurang mendalam, namun ada juga beberapa guru yang memberikan kesan yang terbawa sampai usia kita menua.

Ing Ngarso Sung TulodoIng Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayaniajaran kepemimpinan dari Ki Hajar Dewantara ini bagi saya begitu mengkiaskan makna sosok seorang Guru didalamnya. Ajaran ini memiliki arti figur seseorang yang baik yaitu disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang-orang disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat. Guru memiliki seluruh makna ungkapan tersebut.

Begitu banyak cerita dan kisah yang terekam dalam otak ini, sehingga tak mampu untuk menuliskannya satu persatu dengan baik. Namun yang pasti sosok guru yang sampai saat ini melekat dalam ingatan, memori dan hati sanubariku adalah Ibuku. Ibuku juga Guruku, beliau adalah Ibu Marwanti, S.Pd. yang mengampu guru kelas di SDN 01 Bejen, Karanganyar, Jawa Tengah. Beliau baru saja menikmati masa pesiunnya per – 1 Desember 2020 lalu. Beliau mengabdi selama 34 tahun menjadi seorang Guru SD. Beliau adalah sosok guru yang luar biasa dan tak ternilai bagi saya, memang suatu kebetulan beliau adalah ibu saya sendiri, sehingga kesan ini semakin memberikan arti yang tak terungkap dengan kalimat maupun mutiara.

Ibu Marwanti, S.Pd., terkenal memiliki vocal yang keras dan tegas, namun disiplin dan berwibawa. Beliau sempat mendidik saya semasa Sekolah Dasar, meski hanya sekali dalam 6 tahun, namun memberikan dampak yang luar biasa dikehidupan saya hingga saat ini. Karena pelajaran-pelajaran yang beliau berikan bukan hanya tertulis di papan tulis dan buku sekolah namun diteruskan sampai dibangku rumah dan papan kehidupan. Dan ini bukan hanya saya rasakan, tetapi hamper semua murid-murid yang telah beliau ampu selama ini.

Beliau selalu mengajarkan bukan hanya ilmu pengetahuan atau knowledge yang bermanfaat, bukan hanya sekedar teori tapi  keterampilan atau life skill bagi murid-muridnya meski masih masa usia dasar. Selain itu, beliau juga mengajarkan bagaimana hidup dengan orang-orang disekitarnya atau how to Life together and how to be yourself atau bagaimana menjadi diri sendiriBeliau mengajarkan kami keutamaan unggah-ungguh, tepo sliro, budi pekerti (norma kesopanan dalam masyarakat Jawa) yang harus dipegang teguh saat kita bermasyarakat. Disamping itu kuatnya norma agama dan norma kepantasan yang tidak tersirat dalam lembaran buku-buku pelajaran juga beliau ajarkan untuk kami para muridnya. Norma kepantasan adalah bagaimana selayaknya hidup dan berperilaku di masyakarat dan bersama orang banyak.

Beliau mengajarkan bagaimana cara berbagi dengan orang lain melalui apa yang kita miliki tanpa memandang siapa, apa, mengapa dan kenapa. Berikan apa yang kita punya meski hanya sekedar sepercik senyuman, maka orang lain akan ikut merasakan kebahagiaannya. Kata-kata itu terlintas kuat dibenak saya. Seperti apapun kondisi kita dalam hidup, beliau mengarahkan kami untuk terus berpegang teguh pada agama dan meng-imani bahwa hidup ini indah, akan ada masanya dimana orang merasakan keindahan dan ada masanya orang merasakan berada diroda terbawah. Beliau meninggalkan bekal tak ternilai untuk kami para murid-muridnya, yang bisa kami jadikan tauladan hingga kami beruban dan tutup usia.

Bagi kami murid perempuannya, ibu Marwanti, S.Pd. selalu menanamkan pada diri kami nilai-nilai agar kami selalu menjaga kehormatan dan harga diri kami sebagai seorang wanita. Tidak boleh mudah putus asa karena jalan Tuhan itu akan indah pada waktunya. Bersinergi dengan kehidupan yang beraneka ragam dengan tetap menjaga harkat dan martabat seorang wanita. Berkolaborasi dengan perkembangan zaman namun tetap menjunjung tinggi moral dan harga diri sebagai seorang wanita. Harus terus berkembang, meningkat, melejit dan membumi namun tetap menjaga kehormatan diri ditengah kerasnya kehidupan yang kadang tak terbaca. Begitulah kesan yang tersirat dihati kami dari apa yang telah beliau sampaikan, contohkan dan berikan kepada kami murid-muridnya kala itu.

Beliau ibu Marwanti, S.Pd. adalah sosok yang bagi saya cukup patut disandingkan dengan kalimat kepemimpinan yang disampaikan Ki Hajar Dewantara. Beliau memberikan teladan yang nyata, menularkan banyak hal yang tak tertulis dalam lembaran kertas putih, menjadi penengah disegala situasi, memberikan dorongan dan semangat bagi kami untuk terus semangat menjalani kehidupan namun tetap rendah diri, berpegang teguh pada agama, jujur dan sederhana. Itulah beliau ibu Marwanti, S.Pd. Guru SD-ku, Ibuku dan Inspirator kehidupanku. See How Much I Love You (SHMILY) kata beliau untuk kami, anak-anak dan juga murid-murid kesayangannya.

Susanti HandayaningsihS.H. putri dari sosok Ibu, pensiunan guru SD, Ibu Marwanti, S.Pd. dan juga guru MTSN Berau, Kalimantan Timur.



Ibuku Guruku Inspirator Kehidupanku

  Guru, digugu lan ditiru. Ungkapan Jawa ini begitu melekat dibenak saya karena sering sekali mendengarnya sejak masa sekolah hingga  saat i...