Rabu, 17 Februari 2021

PAGEBLUK

  

Ramadhan, Pagebluk dan Kesendirianku

 

P

uasa hari pertama, 24 April 2020. Itu adalah hari dimana seharusnya aku bisa pulang ke kampung halamanku di Jawa. Hari itu, aku sudah membeli tiket pesawat terbang dengan tujuan Berau-Yogyakarta Kulon Progo. Harapan besar bisa bersua dengan keluarga dan menjalankan ibadah ramadhan bersama sampai hari raya.

Pandemi (dalam bahasa Jawa disebut Pagebluk) membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan penerbangan mulai tanggal 24 April 2020 pukul 00.00 WIB sampai 1 Juni 2020. Akibatnya, penerbanganku hari itu dibatalkan dan aku hanya bisa berjalan tertatih, menangis serta meratapi kegagalanku pulang kampung.

Sampai hari ketujuh Ramadhan, aku terus-menerus bersedih dan tidak keluar kost bahkan aku sahur dan berbuka seadanya dengan sisa bahan makanan yang ada didapur. Bagaimana tidak, ini adalah tahun keduaku menjalani ramadhan diperantauan, dalam kesendirian, tanpa suamiku, anak-anakku, orang tuaku dan sanak saudaraku. Rasanya begitu menyesakkan.

Hari-hari berikutnya, aku berusaha untuk bangkit secara perlahan. Mencoba menahan tangis dan kepedihan. Menyibukkan diri dengan hal yang kadang tak penting sembari terus berharap pagebluk ini segera berakhir dan aku bisa kembali pulang serta menjalani puasaku dengan penuh kegembiraan.

Namun kenyataannya, semakin hari kondisi tidak membaik. Informasi tentang pertambahan pasien covid 19 di seluruh wilayah Indonesia membuat masyarakat semakin resah. Berbagai tindakan pencegahan terus dilakukan oleh pemerintah termasuk berbagai kebijakan yang tidak boleh dilakukan selama bulan ramadhan.

Berita tentang himbauan dan larangan sholat berjamaah, larangan sholat tarawih di masjid, larangan ngabuburit, larangan melaksanakan buka bersama dan larangan-larangan lainnya memenuhi isi sosial media dan televisi.

Pagebluk telah membuat Ramadhan kami seperti gemericik air yang tak mengalir, membuat masjid tampak sepi dan tak bergema, membuat jalanan sepi bak hutan tanpa pepohonan, membuat warung-warung makan tutup dan tanpa pembeli, membuat riuh anak-anak yang menantikan takjil di masjid saat menunggu adzan maghrib tak lagi terdengar, membuat kultum dan ceramah yang biasanya menghiasi tiap malam ramadhan kini sunyi tak bergeming.

Tak ada lagi orang yang beramai-ramai melakukan iktikaf dimasjid, tak ada lagi kidmad tadarus dimasjid, tak ada lagi kataman Qur’an dimasjid, tak ada lagi peringatan Nuzulul Qur’an, tak ada lagi sorai pesantren kilat anak-anak, tak ada lagi pemuda yang hiruk pikuk keliling kampung membangunkan kami sahur dan tak ada lagi ramai orang berburu makanan dipinggiran trotoar untuk menu berbuka mereka.

Ramadhan ini hanyalah sebuah kesunyian layaknya aku yang terpaku dalam kesendirian. Mungkin pagebluk ini membuat orang menjadi lebih memahami arti kebersamaan, persaudaraan dan kerinduan. Sama halnya denganku, yang hanya bisa merindu dalam kesendirianku selama ramadhan saat pagebluk ditanah rantau.

Sekarang menangispun hanya menguras air mata. Cukup aku terjatuh dan kini saatnya untuk kembali bersyukur dan terus berdoa. Ramadhan dan kesendirianku ditengah pagebluk memang membuatku rapuh. Tapi sekali lagi, aku tak boleh kalah dan menyerah.

Hari-hariku berikutnya kuhabiskan dengan mengikuti banyak webinar dan seminar online, menambah intensitas video call bersama anak-anak, suami juga ibuku. Merekalah yang terus menguatkanku dalam kesendirian ini. Mendengarkan celoteh mereka tentang hari-hari yang mereka jalani dirumah selama ramadhan, mendengarkan mereka belajar Qur’an dan merasakan kehadiran mereka ditengah kesendirianku saat ini, kurasa itu cukup bagiku.

Ingatlah, bahwa segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Akan ada sesuatu yang indah untuk dituai nantinya. Sabarlah, kuatlah dan tersenyumlah, selalu itu yang kukatakan dalam hatiku.

Ramadhanku tidak boleh berlalu hanya dengan kesedihan, kesendirianku akan kusudahi dengan caraku dan pagebluk biarlah tetap menjadi rahasia Tuhan! Mari berdamai ditengah pagebluk demi ramadhan nan indah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ibuku Guruku Inspirator Kehidupanku

  Guru, digugu lan ditiru. Ungkapan Jawa ini begitu melekat dibenak saya karena sering sekali mendengarnya sejak masa sekolah hingga  saat i...